Susah dapat teman baru buat diakrabi di dunia nyata bukan cuma masalah anak umur 30an. Aku yang umur 20an menghadapi tantangan ini di depan mataku. Seumur-umur aku anak rumahan. Aku baru keluar rumah buat kuliah di Bandung, tapi hanya selama 1,5 tahun karena pandemi datang dan aku terpaksa balik ke Jakarta. Sampai aku lulus di akhir 2022, seluruh kuliah diadakan secara daring.
Begitulah. Masa kuliahku dihabiskan tanpa banyak berinteraksi langsung dengan teman-teman baru. Padahal begitu masuk dunia kerja, aku harus ketemu dan membaur dengan orang baru. Jujur, rasanya agak menakutkan. Apalagi di tiga perempat waktuku, aku adalah introver.
Biasanya aku ketemu orang baru lewat internet. Di sana rasanya lebih siap berinteraksi aja karena bisa tahu duluan kayak apa vibe yang orang lain pendarkan. Aku tahu aku nggak boleh begini terus. Aku ingin menantang diri kenalan dengan cara konvensional. Ketemuan.
Aku dan Iman* saling follow di Instagram. Kami ada beberapa mutual, tapi aku sama dia nggak saling kenal. Suatu hari ia membalas Story-ku soal lagu yang sedang aku dengarkan. Karena habis fafifu terbitlah wasweswos, coba ajak ketemu aja kali ya? Beruntungnya, dia juga tertarik buat kopi darat
Grogi nggak ketemu stranger? Selalu, tapi harus dibiasakan.
Babak I: Salam kenal
Hari Sabtu tiba, dan aku bergegas ketemu Iman. Sejujurnya aku grogi. Kalo gue ternyata sok asik atau garing gimana ya? Selera humor kita mirip nggak ya? Kalo dia merasa gue nggak lucu gimana? Pikiran itu berputar-putar di kepalaku. Kayaknya yang paling bikin aku takut adalah dianggap tidak lucu.
Kami bertemu di sebuah kedai kopi di Jakarta. Ia tiba beberapa menit setelahku.
“Hai!” aku menyapanya.
“Hai!”
Tangannya seperti tidak yakin apakah sebaiknya ia fistbump atau bersalaman. Aku menyadarinya dan langsung memberikan tangan kananku untuk bersalaman. Ini terjadi dalam waktu tiga detik.
“Nice to meet you! Gue Melody.” Aku tersenyum dengan sopan.
“Nice to meet you as well, Melody,” ia membalas senyumku.
Kesan awal: ia seseorang yang kepercayaan dirinya perlu dipancing ketika bersama orang baru.
Kami duduk di luar kafe dengan masing-masing segelas es kopi. Memulai perbincangan dengan orang baru selalu sulit, aku tidak fasih berbasa-basi.
“Lo tinggal di mana?” Iman duluan bertanya. Keringat dinginku tidak jadi keluar dari pori-pori.
“Tadi ke sini sekitar 20an kilometer,”
“Oh, jauh sih.”
“Iya, tapi sudah biasa kok, hehe. Lo tinggal dekat sini?”
“Lumayan, lo tahu [ia menyebut suatu kawasan] nggak?”
Aku mengangguk perlahan. “Tahu… kayaknya.”
“Gampang diakses transportasi umum sih. Gue sejak tahun ini jadi lebih sering pake bus juga.”
“Seandainya gue ga sejauh itu tinggalnya, menurut gue transportasi publik paling enak sih. Hemat, dan karena gue ga bisa nyetir.”
“Setuju, ga efisien sih kalo kejauhan. Jadi buang waktu ya.”
“Eh, lo desainer grafis ya?” kali ini aku yang tanya.
“Iya, sebelumnya gue kerja di studio desain. Baru sebulan ini mulai di tempat baru, korporat.”
Sebut aku judgemental, tetapi agak sulit membayangkan dirinya kerja kantoran formal. Ia tampak seperti seniman yang tidak suka dikekang.
“Senang ga dengan tempat barunya?”
Ia diam sejenak. “Beda sih, kalau dibanding dengan kerja di studio. Isinya [di kantor sekarang] bapak-bapak semua, jadi ga minat juga untuk banyak bersosialisasi. Ya, namanya juga kerja.”
“Paham, gue juga dulu pernah kerja di kantor korporat dan ga cocok di lingkungannya.”
Untuk sesaat kami hening. Aku hampir mendengarnya bernapas dengan tenang, meskipun playlist di kedai memutarkan Billboard Top 100 dari pra-2017 dan pengunjung lainnya mengoceh ramai. Senyuman kecil muncul, seakan ada pemahaman yang tak terucapkan di antara kami berdua.
“Weekend biasa ngapain aja?” aku meneruskan.
Ia berpikir sesaat. “Tidur….”
Aku tertawa. Jujur, pikirku.
Ia balas ketawa. “Iya, tidur biasanya. Atau mungkin nonton, dulu gue suka main musik dan melukis.”
Benar tebakanku. “Film favorit lo apa? Bentar, itu pertanyaan sulit. Top four deh.”
“Wah.” Ia mengambil ponselnya dan menunjukkan profil Letterboxd. “Ini.”
Kayaknya nggak usah aku gambarin selera filmnya kayak apa, yang jelas aku merasa nyambung. “Gue tahu dan mau, tapi belum tonton.”
“Kenapa?”
“Kelamaan mikir sebelum klik play. Gue lebih suka nonton di bioskop, streaming dari layar laptop kurang nyaman.”
“Setuju. Ga terasa aja pengalamannya. Tapi film kesukaan lo apa?”
“Salah satunya Sorry To Bother You-nya Boots Riley.”
“Itu yang tentang….” Kami lalu bertukar pendapat mengenai sinema. Aku merasa agak sok tahu sebenarnya, hahaha.
“Kalo weekend lo biasa gimana?” dia gantian nanya.
“Gue… karena kerja freelance, jadi ga ada jadwal yang pasti. Kayaknya gue cenderung malas keluar rumah juga. Kecuali kalau ada acara teman, gue pasti hadir sih,” aku jawab gitu sambil membatin, begayaan banget gue….
“Pas itu gue pernah ke acaranya mereka! Yang di Kemang beberapa waktu lalu,” kata Iman. Lah!
“Gue juga di sana pas itu….”
“Oh ya? Sekali itu doang, seru sih yang itu.”
Dari sana kami berdiskusi tentang musik yang kami suka. Beda aliran, namun ada kemiripan dan irisan. Saat ditanya tentang wishlist konser, aku menyebut beberapa musisi yang bagiku ga-mungkin-kesampean-tapi-biarin-namanya-juga-fantasi. Aku tanyakan kembali, dan Iman seperti sudah menyiapkan jawaban ini dari sebelum nanya.
“Radiohead.”
“Dan album favorit lo dari Radiohead?”
“OK Computer.”
Oke, aku bakal judgemental lagi. Aku akan menebak bahwa karakternya sensitif dan emosional berdasarkan alasannya menyukai film dan musik yang ia sebutkan.
“Tahun ini rencana untuk nonton festival musik apa?”
“Belum tahu deh.”
“Yang bulan depan, gue pengen tapi belum punya tiket dan temannya.”
“Gue juga. Karena yang gue pengen tonton cuman—”
Kami tak sengaja bersamaan mengucapkan “The Strokes!”
Babak II: mengheningkan cipta
Kami jalan kaki ke lokasi penayangan festival “Europe on Screen”. Jalanan ini seratus persen tidak ramah pejalan kaki, ditambah baru sejam lalu mata kepalaku sendiri menyaksikan upaya begal, menjadikan komentarku selalu sama saat berjalan kaki di wilayah Menteng.
“Gue suka jalan kaki, tapi gue benci jalanan yang—,” kami sedang menyeberangi zebra cross yang pemberhentian penyeberangannya malah di tengah-tengah jalur kendaraan. Aku menunjuk ke arah jalan yang sedang kami lalui, “—begini!”
Waktu penayangan masih satu jam lagi. Kami ngobrol sambil ngemper di depan gedung.
“Gue punya ketertarikan untuk belajar banyak bahasa dan budaya, tapi bahasa Jerman nggak.”
“Kenapa?”
“Di jurusan gue, orang yang mengaku bisa bahasa Jerman selalu laki-laki yang punya semacam obsesi aneh dengan sejarah Perang Dunia II.”
Kami membicarakan soal masa kecil. Ia memberi tahu bahwa ketertarikannya pada seni dimulai sejak kecil. “Dulu gue suka ambil sekitar sepuluh lembar kertas, staples jadi satu dan gambar komik ala-ala gitu.”
Ia menanyakan masa kecilku. Ada kepuasan tersendiri ketika aku bisa nyaman menceritakan masa itu. Namun, aku selalu kesulitan menjelaskan bahwa dulu aku tidak memiliki teman sehingga, sialnya, aku bertualang di internet tanpa pengawasan orang dewasa.
“Pas gue sembilan tahun sudah terekspos dengan Tumblr, dan gue melihat hal-hal aneh di internet untuk pertama kalinya.”
“Seperti?”
“Uh… bondage?”
Usia kami cuma beda dua tahun. Ada sedikit perbedaan, tapi secara umum kami masing-masing tumbuh dengan minat yang serupa.
Ruang screening dibuka. Film yang kami tonton bercerita tentang seorang perempuan muda. Soal jati diri, kedewasaan, dan kebebasan; aku seperti sedang menyaksikan kisahku sendiri. Ceritanya menyalurkan emosi kuat yang membuatku merasa begitu terfokus. Pada satu adegan cukup serius, sang pemeran utama bersiap menghadapi hubungan seks pertamanya, tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi e-commerce dari ponsel penonton di belakang. Ada-ada aja.
Babak III: Makan malam
Kami pindah ke satu tempat makan dekat situ. Duduk di area bar restoran itu, kami masing-masing memesan segelas cocktail sehabis self-reward atas minggu yang berat.
Makan malam dengan orang baru adalah cara yang tepat untuk mengenal mereka. Memang betul ungkapan dari perut turun ke hati. Kalau tidak cocok juga pasti keluar lagi, hehehe. Perbincangan tentang nostalgia dan cita-cita mewarnai malam kami.
“Lo ada bayangan ga, lima tahun ke depan rencananya apa?” Pertanyaan khas HR itu muncul juga. Yah, namanya masih muda, jujur aja kadang kepikiran soal itu.
Ia menggelengkan kepala. “Sejujurnya, nggak.” Iman terdengar sedikit ragu, kayak ada jawaban lain yang masih dia simpan.
“Cita-cita deh?”
“Duh, gue malu lagi.”
“Menurut gue ga ada cita-cita yang memalukan, tapi kayaknya cita-cita gue lebih memalukan.”
“Gue pengen ngeband.”
Di momen itu aku kayak menemukan apa yang aku cari. Aku kayak melihat kepingan refleksi diriku pada dirinya; sama kayak setiap aku yakin lawan bicaraku adalah seorang teman.
“Musisi bukan cita-cita yang memalukan!” Aku mencoba ngasih dukungan.
“Kayak mimpi anak SMP, dan ga realistis aja kedengarannya.”
“Berkarya itu panggilan hidup menurut gue. Boleh tanya ga, kenapa musik?”
“Gue sering kali kesulitan untuk berekspresi. Musik, film, seni, adalah beberapa hal yang memberikan ruang bagi gue untuk berekspresi. Gue ada keinginan untuk melakukan yang sama.” Iman berhenti sebentar. “Bukan berarti gue sehebat inspirasi-inspirasi gue, tapi ada keinginan untuk bisa membuat orang lain merasakan sesuatu.”
“Sama. Gue percaya penting untuk menyampaikan rasa yang nyata, terutama melalui seni. Selain ruang berekspresi, gue juga dapat jujur ketika berkarya.”
Ini obrolannya jadi dari hati ke hati gini, apa karena minumannya ya? Hahaha.
Malam itu aku menyadari, ternyata bersosialisasi dengan orang baru cukup mengobati rasa kosong. Terkadang memang harus kita lakukan saja, apa yang kita inginkan, untuk kembali jatuh cinta dengan hidup. Cielah, serius amat!
Aku senang dapat merasakan koneksi tersendiri dengan orang-orang yang aku temui, di mana pun itu. Termasuk dengan Iman. Aku senang bahwa di akhir pertemuan kita, yang keluar dari mulut kami masing-masing adalah,
“Sampai ketemu lagi, ya!”
*Kami sepakat nggak nyebut nama asli dia demi privasi.
Source link