HAMPIR dua tahun sejak pengesahan UU TPKS, sebanyak 7 aturan pelaksana hingga kini belum juga ditetapkan. Aktivis Perempuan dan Anak sekaligus Ketua Institut Sarinah, Eva Sundari mengatakan bahwa negara harus segera mengesahkan aturan tersebut mengingat batas waktu yang diamanatkan hanya tersisa 6 bulan lagi.
“Sebanyak 6 aturan yang sudah ada di sekretariat negara ini sudah seharusnya segera disahkan. Saya mendengar bahwa 6 aturan tersebut masih diperbincangkan apakah akan disahkan dalam bentuk bentuk Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres)? Perbincangan ini cukup lambat karena materinya sangat progresif tidak seperti hukum konvensional,” jelasnya saat dihubungi Media Indonesia di Jakarta pada Kamis (11/1).
Eva menegaskan bahwa ketiadaan aturan turunan membuat implementasi UU TPKS kerap mengalami hambatan.
Baca juga : KPAI: Implementasi Permenag 73 tentang Pencegahan TPKS di Ponpes Belum Maksimal
Menurutnya, ada banyak catatan terkait hambatan dalam penanganan kasus yang dikumpulkan dari para pendamping korban dan para aktivis yang bekerja bersama korban di berbagai daerah.
“Meskipun materi dalam 7 aturan ini sangat progresif dan spesifik sehingga harus diserahkan pada pihak SCO profesional atau orang-orang yang melakukan pendampingan, sehingga tidak bisa diserahkan kepada para staf ahli di kementerian atau departemen hukum yang ada di negara, tapi proses pengesahan harus segera dipercepat sebelum batas waktu yang diamanatkan UU,” jelasnya.
Baca juga : Penyidik Enggan Terapkan UU TPKS, DPR Desak Terbitkan Aturan Teknis
Dana Bantuan Korban Kekerasan
Seperti diketahui, dari tujuh regulasi pelaksana yang ada, masih ada satu yang masih menunggu untuk proses harmonisasi yaitu terkait dengan Dana Bantuan Korban. Sementara enam peraturan turunan lainnya menunggu diundangkan.
Eva mengatakan bahwa dana bantuan bagi korban kekerasan justru memiliki urgensitas yg tinggi dalam penanganan korban. Sehingga dalam hal ini Kementerian Keuangan juga harus mempercepat realisasi aturan tersebut agar proses harmonisasi bisa selesai.
“Terkait bantuan dana korban ini koordinasinya agak berat karena bendahara ada di Kementerian Keuangan dan untuk koordinator ada di Kemenkumham, sementara KemenPPPA sebagai technical atau eksekutif yang menjembatani pelaksanaan di lapangan harus saling berkomunikasi dengan baik,” ujarnya.
Meski demikian, saat 7 aturan pelaksana sudah terbentuk, bukan berarti berhenti sampai di sana. Eva menjelaskan perlu bagi pemerintah untuk membentuk beberapa kebijakan baru untuk memastikan agar aturan-aturan yang sudah disahkan dapat berjalan dengan baik.
“Ketujuh aturan ini harus bisa dijalankan dengan berbagai program dan kebijakan karena ada beberapa konsep baru yang berlaku, misalnya khusus untuk korban kekerasan jangan sampai dipertemukan dengan pelaku saat berada di pengadilan,” ujar Eva.
Eva menganjurkan agar nantinya, agar 7 aturan berjalan untuk menggerakkan UU TPKS, juga perlu diberikan ‘supporting policy’ baru berupa kebijakan khusus yang mengiring agar penanganan dan pencegahan kekerasan bisa berjalan secara efektif.
“Karena masih ada hambatan termasuk kurangnya ketersediaan tenaga pendukung seperti pendamping seperti pendamping disabilitas, pengacara, tenaga medis, psikolog klinis, psikiater, dan Juru Bahasa Isyarat. Ketersediaan anggaran dan rumah aman pun perlu diskusikan di kebijakan-kebijakan pendukung,” jelasnya.
Kendala Pendampingan Kasus kekerasan
Terpisah, Sekretaris Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) Novita Sari Novelis menjelaskan ada sejumlah kendala dalam pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan lantaran belum terbitnya 7 aturan pelaksana UU TPKS, antara lain APH cenderung hanya melihat peristiwa pidana terakhir, sedangkan riwayat kekerasan yang dialami korban telah berulang.
“Pada saat proses pelaporan di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu, korban diminta untuk menghadirkan dua alat bukti, jika tidak dipenuhi, maka laporan korban tidak diterima. Selain itu, proses penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan juga cenderung didorong melalui mediasi atau keadilan restoratif, dan kasus-kasus kekerasan seksual berbasis elektronik yang menggunakan UU TPKS masih ditangani unit kriminal khusus di kepolisian,” ujarnya.
Seperti diketahui dalam 7 aturan UU TPKS, pemerintah telah menyepakati pembentukan tiga Peraturan Pemerintah (PP) dan empat Peraturan Presiden (Perpres), dimana lima peraturan diprakarsai oleh Kemen-PPPA dan dua diantaranya diprakarsai oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dua peraturan turunan UU TPKS yang diprakarsai oleh Kemenkumham adalah RPP tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Terpadu bagi Aparat Penegak Hukum dan Tenaga Layanan Pemerintah, dan Tenaga Layanan pada Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat.
Sementara lima peraturan turunan yang diprakarsai oleh Kemen-PPPA berupa RPP tentang Pencegahan TPKS serta Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Korban TPKS; RPP tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan penanganan Korban TPKS.
Kemudian rancangan Perpres tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu dalam Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan di Pusat; rancangan Perpres tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak; dan rancangan Perpres Kebijakan Nasional Pemberantasan TPKS. (Z-4)
HAMPIR dua tahun sejak pengesahan UU TPKS, sebanyak 7 aturan pelaksana hingga kini belum juga ditetapkan. Aktivis Perempuan dan Anak sekaligus Ketua Institut Sarinah, Eva Sundari mengatakan bahwa negara harus segera mengesahkan aturan tersebut mengingat batas waktu yang diamanatkan hanya tersisa 6 bulan lagi.
“Sebanyak 6 aturan yang sudah ada di sekretariat negara ini sudah seharusnya segera disahkan. Saya mendengar bahwa 6 aturan tersebut masih diperbincangkan apakah akan disahkan dalam bentuk bentuk Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres)? Perbincangan ini cukup lambat karena materinya sangat progresif tidak seperti hukum konvensional,” jelasnya saat dihubungi Media Indonesia di Jakarta pada Kamis (11/1).
Eva menegaskan bahwa ketiadaan aturan turunan membuat implementasi UU TPKS kerap mengalami hambatan.
Baca juga : KPAI: Implementasi Permenag 73 tentang Pencegahan TPKS di Ponpes Belum Maksimal
Menurutnya, ada banyak catatan terkait hambatan dalam penanganan kasus yang dikumpulkan dari para pendamping korban dan para aktivis yang bekerja bersama korban di berbagai daerah.
“Meskipun materi dalam 7 aturan ini sangat progresif dan spesifik sehingga harus diserahkan pada pihak SCO profesional atau orang-orang yang melakukan pendampingan, sehingga tidak bisa diserahkan kepada para staf ahli di kementerian atau departemen hukum yang ada di negara, tapi proses pengesahan harus segera dipercepat sebelum batas waktu yang diamanatkan UU,” jelasnya.
Baca juga : Penyidik Enggan Terapkan UU TPKS, DPR Desak Terbitkan Aturan Teknis
Dana Bantuan Korban Kekerasan
Seperti diketahui, dari tujuh regulasi pelaksana yang ada, masih ada satu yang masih menunggu untuk proses harmonisasi yaitu terkait dengan Dana Bantuan Korban. Sementara enam peraturan turunan lainnya menunggu diundangkan.
Eva mengatakan bahwa dana bantuan bagi korban kekerasan justru memiliki urgensitas yg tinggi dalam penanganan korban. Sehingga dalam hal ini Kementerian Keuangan juga harus mempercepat realisasi aturan tersebut agar proses harmonisasi bisa selesai.
“Terkait bantuan dana korban ini koordinasinya agak berat karena bendahara ada di Kementerian Keuangan dan untuk koordinator ada di Kemenkumham, sementara KemenPPPA sebagai technical atau eksekutif yang menjembatani pelaksanaan di lapangan harus saling berkomunikasi dengan baik,” ujarnya.
Meski demikian, saat 7 aturan pelaksana sudah terbentuk, bukan berarti berhenti sampai di sana. Eva menjelaskan perlu bagi pemerintah untuk membentuk beberapa kebijakan baru untuk memastikan agar aturan-aturan yang sudah disahkan dapat berjalan dengan baik.
“Ketujuh aturan ini harus bisa dijalankan dengan berbagai program dan kebijakan karena ada beberapa konsep baru yang berlaku, misalnya khusus untuk korban kekerasan jangan sampai dipertemukan dengan pelaku saat berada di pengadilan,” ujar Eva.
Eva menganjurkan agar nantinya, agar 7 aturan berjalan untuk menggerakkan UU TPKS, juga perlu diberikan ‘supporting policy’ baru berupa kebijakan khusus yang mengiring agar penanganan dan pencegahan kekerasan bisa berjalan secara efektif.
“Karena masih ada hambatan termasuk kurangnya ketersediaan tenaga pendukung seperti pendamping seperti pendamping disabilitas, pengacara, tenaga medis, psikolog klinis, psikiater, dan Juru Bahasa Isyarat. Ketersediaan anggaran dan rumah aman pun perlu diskusikan di kebijakan-kebijakan pendukung,” jelasnya.
Kendala Pendampingan Kasus kekerasan
Terpisah, Sekretaris Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) Novita Sari Novelis menjelaskan ada sejumlah kendala dalam pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan lantaran belum terbitnya 7 aturan pelaksana UU TPKS, antara lain APH cenderung hanya melihat peristiwa pidana terakhir, sedangkan riwayat kekerasan yang dialami korban telah berulang.
“Pada saat proses pelaporan di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu, korban diminta untuk menghadirkan dua alat bukti, jika tidak dipenuhi, maka laporan korban tidak diterima. Selain itu, proses penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan juga cenderung didorong melalui mediasi atau keadilan restoratif, dan kasus-kasus kekerasan seksual berbasis elektronik yang menggunakan UU TPKS masih ditangani unit kriminal khusus di kepolisian,” ujarnya.
Seperti diketahui dalam 7 aturan UU TPKS, pemerintah telah menyepakati pembentukan tiga Peraturan Pemerintah (PP) dan empat Peraturan Presiden (Perpres), dimana lima peraturan diprakarsai oleh Kemen-PPPA dan dua diantaranya diprakarsai oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dua peraturan turunan UU TPKS yang diprakarsai oleh Kemenkumham adalah RPP tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Terpadu bagi Aparat Penegak Hukum dan Tenaga Layanan Pemerintah, dan Tenaga Layanan pada Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat.
Sementara lima peraturan turunan yang diprakarsai oleh Kemen-PPPA berupa RPP tentang Pencegahan TPKS serta Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Korban TPKS; RPP tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan penanganan Korban TPKS.
Kemudian rancangan Perpres tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu dalam Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan di Pusat; rancangan Perpres tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak; dan rancangan Perpres Kebijakan Nasional Pemberantasan TPKS. (Z-4)
Source link